CSE

Loading

Rabu, 15 Januari 2014

Lanjutan Micr. Excel UAS komputer yang belum selesai, klik di sini.
KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif. Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas. Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif. Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya. Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida. Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi. Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik. Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun. Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan. Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai. Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis). Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh. Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya. Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu. Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis. Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan. Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari. Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari. Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan. Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari. Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang. Mereka lk dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci. Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari. Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam. Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan. Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu. Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal. Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.
KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif. Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas. Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif. Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya. Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida. Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi. Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik. Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun. Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan. Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai. Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis). Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh. Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya. Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu. Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis. Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan. Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari. Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari. Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan. Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari. Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang. Mereka lk dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci. Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari. Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam. Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan. Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu. Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal. Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.

Selasa, 07 Januari 2014

ANEMIA DEFISIENSI BESI Anemia defisiensi besi merupakan anemiayang terbanyak baik di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang. Padahal besi merupakan suatu unsur terbanyak pada lapisan kulit bumi, akan tetapi defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang tersering. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang berlebihan yang diakibatkan perdarahan. Senyawa-senyawa esensial yangmengandung besi dapat ditemukan dalam plasma dan di dalam semua sel. Karena zat besi yang terionisasi bersifat toksik terhadap tubuh, maka zat besi selalu hadir dalam bentuk ikatan dengan hem yang berupa hemoprotein (seperti hemoglobin, mioglobin dan sitokrom) atau berikatan dengan sebuah protein (seperti transferin, ferritin dan hemosiderin) (Jones.NCH, Wickramasinghe.SN, 2000, hal. 67-83). Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5 – 3g dan sisa lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan (Sacher.RA, Mc Pherson.RA, 2000, p.68-70). Anemia Defisiensi Besi ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat baik anak-anak, para wanita baik yang hamil maupun yang tidak, juga pada pria dewasa. Dengan dilakukan pencegahan , masyarakat dapat terhindar dari anemia ini, sehingga pada anakanak usia sekolah tidak terjadi penurunan prestasi belajarnya dan pada orang dewasa tidak terjadi penurunan kemampuan fisiknya yang berakibat pada produktivitas kerja yang menurun. Apabila sudah terjadi Anemia Defisiensi Besi maka segera obati dengan menggunakan preparat besi dan dicari kausanya serta pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan. Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat maka Anemia Defisiensi Besi ini dapat disembuhkan. lihat selengkapnya, download di sini.
Nutrition Sheldon Margin, publisher of the UC Berkley Wellness Letter, a leader of “them”, accepted this characterization of battle lines when we presented it to him in 1996. In 1996 Dr. Atkins and Barry Sears were both publicly and regularly referred to as “quacks” and “frauds” by mainstream physicians, journalists, and nutritionists. While this was something that Sears would have to get used to, Dr. Atkins had been dealing with vicious assaults on his life’s work and character since publishing his Dr. Atkins’ Diet Revolution in 1972. Doctor Robert Atkins deserves credit for suffering unimaginable abuse while remaining steadfast, Gary Taubes for being the first journalist to expose the fraud and origins of the low fat position and for later making the point that the science may have been behind Dr. Atkins all along, Barry Sears for super tuning a responsible diet, and Dr. Uffe Ravnksov for exposing the fraud and slop in anti-fat research so effectively that he needed to be completely ignored to be dealt with. Lihat selengkapnya, download di sini.
JURNAL Nutrisi Dan Gizi Buruk Malnutrisi adalah gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara – negara berkembang, yang merupakan risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita. Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans. Hasil Susenas menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita gizi buruk yaitu, dari 10,1 % pada tahun 1998 menjadi 8,1 % pada tahun 1999 dan menjadi 6,3 % pada tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali prevelansi gizi buruk dari 8,0 % menjadi 8,3 % pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 8,8 % pada tahun 2005. Gizi buruk tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian, tetapi juga menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan sel – sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan. Gizi buruk merupakan masalah yang perlu penanganan serius. Gizi buruk dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Masalah gizi buruk dapat ditangani dengan pemberian asupan gizi yang seimbang secara bertahap sesuai dengan kebutuhan pada tahap tersebut. Formula yang dipilih dapat disesuaikan dengan tahap dan tujuan dari pemberian tambahan nutrisi. lihat selengkapnya, download di sini.
                                                NUTRISI DAN GIZI BURUK 
 
                                                                  ABSTRACT 
 
Malnutrition, withs 2 constituents of protein–energy malnutrition and micronutrient deficiencies, cont
inuesto be a major health burden in developing countries. It is globally the most important risk factor for
illness and death, with hundreds of millions of pregnant womenand young children particularly affected. In Indonesia, ProteinEnergy Malnutrition (PEM) and micronutrient deficiencies are still one of the most important and urgen health
problems in the community, in which the underfive children are among the most vulnerable. Apart from marasmus
and kwashiorkor (the 2 forms of protein– energy malnutrition), deficiencies in iron, iodine, vitamin A and zinc arethe main manifestations of malnutrition in developing countries. In these communities, a high prevalence of poor
diet and infectious disease regularly unites into avicious circle. The high prevalence of bacterial
and parasiticdiseases in developing countries contributes greatly to Protein Energy Malnutrition (PEM) and micronutrient deficiencies there. Similarly, Protein Energy Malnutrition (PEM) and micronutrient deficiencies increases one’ssusceptibility to and severity of infections, and is thus a major component of illness and death from
disease. Protein Energy Malnutrition (PEM) and micronutrient deficiencies is consequently the most important risk factor for the burden of disease in developing countries. Although nutrition treatment protocols for severe malnutrition have in
recent years become more efficient, most patients (especially in rural areas) have little or no access to formal health
services and are never seen in such settings. Interventions to prevent protein– energy malnutrition range from promoting breast-feeding to food supplementation schemes, whereas micronutrient deficiencies would best be addressed through food-based strategies such as dietary diversification through home gardens and small livestock.
 
Keywords: nutrition, protein energy malnutrition), micronutrient deficiencies